Pengalaman Fimosis Bayi 6 bulan
Memiliki bayi adalah dambaan Foto : pexel |
Gejala awal Fimosis
Beberapa waktu lalu adek sempet panas beberapa hari. Waktu aku curhat ke ibu, aku disarankan agar Tito dipijet aja, mungkin capek soalnya kakinya dingin dan yang panas cuma kepala aja. Aku cuma nurut aja karena beberapa teman pernah bilang mungkin akan tumbuh gigi kalau panasnya cuma kepala aja. Setelah dipijat, panasnya bukannya turun tapi malah lebih tinggi dan siklusnya jadi panas malam hari dan siangnya badan kembali normal dan anaknya ceria-ceria aja, cuma gerakannya tak selincah ketika dia sehat. Lantas aku putuskan membawa adek ke klinik. Dokter menanyakan sudah berapa hari panasnya sambil menghitung dan menanyakan tempat aku tinggal saat ini. Dokter yang juga temenku sedikit kaget karena aku tinggal di daerah endemik demam berdarah. Dokter lalu meresepkan paracetamol dan memintaku kembali dua hari lagi jika tak ada perubahan.
Setelah dua hari, ternyata panas adek tak menunjukkan perubahan. Aku bawa kembali ke klinik dan kali ini suami ambil cuti sehari karena ingin menemani. Dokter akhirnya memberi rujukan agar kami uji lab untuk mengetahui penyebab panasnya karena untuk anak sekecil Tito tak mungkin terkena typhus dan prediksi selanjutnya adalah Demam berdarah. Sudah beberapa puluh orang yang terjangkit penyakit akibat aedes aegepty ini di wilayah kecamatan kami.
Miris juga, antara sedih dan keharusan uji lab untuk bayiku. Setelah diambil darah, petugas medis tersebut meminta kami mengambil hasil lab sekitar sejam . Paksu langsung bergegas mengambil hasil lab dan kembali ke klinik untuk mengkonsultasikan hasil lab. Dari data uji lab, ternyata adek aman dari demam berdarah. Dokter akhirnya merujuk Tito ke Dokter spesialis anak. Prosesnya memang cukup panjang, karena semua ditanggung oleh asuransi kesehatan milik pemerintah. Tapi saya bersyukur karena tak berbelit-belit. Setelah antre dan ditimbang, kami bertemu dokter spesialis anak dan menyerahkan hasil lab. Hasilnya, Tito dicurigai terkena radang atau infeksi. Dokter menanyakan apakah anak kami diare atau batuk pilek, saat kami jawab tidak, dokter lalu meneliti satu persatu dari lubang telinga, hidung, mulut, anus dan penis. Dan akhirnya menemukan bahwa ujung penis adek memerah.
Fimosis ini mbak..begitu dokter bilang. Beliau akhirnya meresepkan antibiotik dan menyarankan kami agar Tito dikhitan/sunat. Bapaknya jadi khawatir ketika dokter menyarankan mengkhitan Tito setelah panasnya reda dan antibiotiknya habis. Akhirnya, kami mncari berbagai informasi terkait bayi yang fimosis. Seorang teman juga menyarankan agar anak kami dikhitan saja karena putra beliau yang juga sblumnya terkena fimosis akhirnya dikhitan setelah beberapa kali panas tinggi putranya kambuh akibat fimosis.
Saat kontrol, dokter merujuk kami ke dokter spesialis bedah. Dokter bedah berkesimpulan bahwa Tito sebaiknya tak disunat dulu karena terlalu kecil. Beliau lalu mengambil semacam gunting yang ujungnya bengkok. Lalu membuka lubang penis Tito. Saat itu Tito menangis tapi dokter cuma menenangkan bahwa itu sebetulnya tidak sakit untuk bayi. Padahal yang liat sampe ngeri, dan dokter bedahnya bilang itu tak sakit. hiks...hiks...Setelah selesai, akhirnya kami pulang dan Tito belum jadi dikhitan.
Sebulan berlalu, adek panas tinggi lagi. Setelah dari dokter keluarga, Tito dirujuk ke dokter spesialis anak lagi. Terbayang bahwa adek bakal disunat setelah anjuran dokter tempo sebelumnya. Ternyata adek didiagnosis ISPA karena cuaca sedang dingin, tubuh tidak fit dan terkena virus pula. Dokter spesialis anak tetap menyarankan kami untuk rujuk ke dokter bedah lain untuk mencari opsi pembanding sehingga lebih yakin apakah akan jadi disunat atau tidak. Namun, hingga hari ini saya menunda mengkhitan Tito karena menurut kami usianya masih terlalu kecil. Meski demikian, hingga sejauh ini Alhamdulillah setelah treatment dokter bedah hari itu, Tito sudah bisa pipis dengan normal.
Selanjutnya baca: Fimosis pada bayi
Selanjutnya baca: Fimosis pada bayi